Monday, September 5, 2011

2. Jarak Sorga Neraka

*** 2. Jarak Sorga-Neraka ***
(8876)
ALHAMDULILLAAH. Orang Arab itu sedang sholat sunnat tahiyyatul masjid ketika aku tiba di tempat yang dijanjikan tadi. Aku segera shalat di sebelahnya. Usai shalat sunnah sambil menunggu qomat, aku mengambil inisiatip memperkenalkan diri. Dia agak heran ketika namaku kusebut. Mungkin karena tidak berbau Islam. Dia memperkenalkan diri. Namanya Fulan bin Fulan . Tidak banyak yang bisa digali kecuali bahwa dia pernah tinggal belasan tahun di Indonesia. Kami bincang-bincang sampai waktu sholat tiba.
Usai shalat shubuh, kami harus bergeser cukup jauh mencari tempat kosong, karena di titik kami sholat tiba-tiba dipasang mimbar. Rupanya guru-guru mengaji petugas kerajaan disebar di sekitar masjidil harom duduk di mimbar untuk memberikan kuliah subuh dan tentunya disampaikan dalam bahasa Arab. Kuliah disampaikan dalam Bahasa Arab. Dan tanpa speaker sehingga kelompok-kelompok kuliah subuh tadi tidak saling mengganggu.
Dari kejauhan nampak sekelompok kecil jamaah umroh dari Malaysia mengadakan kuliah subuh sendiri. Rupanya daripada bengong mendengarkan ceramah bahasa Arab, mendingan mendengarkan ceramah dalam bahasa sendiri.
“Jadi mengapa syeikh pindah dari Indonesia?” kataku sambil menghidupkan MP3 Player untuk merekam pembicaraan.
“Ya akhilkariim, terlebih dahulu ketahuilah bahwa Islam adalah agama komunitas. Islam adalah agama berjamaah. Islam tidak mengenal kehidupan yang solitaire atau menyendiri. Didalam Islam, nikah adalah wajib. Didalam Islam khoirul rijaal aktsarun nisaa, sebaik-baiknya laki-laki yang banyak isterinya. Didalam Islam banyak anak adalah kehormatan”
“Di Islam di Indonesia, banyak anak banyak rezeki” kataku menyela. Orang Arab itu tersenyum.
“Di Islam di Indonesia, kawin mudah, poligami murah” kataku lagi. Orang Arab itu tergelak. Wah, bisa juga orang serius tertawa, kataku dalam hati.
“Ana tahu itu, ana tahu itu” katanya.
Mahalnya mahar serta mahalnya biaya pernikahan di Arab telah membuat banyak laki-laki Arab tidak mampu menikah. Dan ini menjadi masalah sosial yang serius.
“Satu-satunya pengecualian adalah ketika di suatu tempat tidak ada jamaah Islam dan mengalami kesulitan yang membahayakan aqidah dan jiwa ketika melaksanakan ibadah, maka menurut hadits Nabi lebih baik menyendiri di hutan, makan akar tumbuhan sampai ajal tiba.”
“Seperti ashabul kahfi?” kataku.
Sebetulnya aku mau berkata ‘Seperti Rambo masuk Islam menyendiri di hutan Vietnam?’, tapi aku tidak tega mengatakan itu. Kuatir dianggap mempermainkan. Kalau dia ngambek dan pergi, kan repot. Tapi terus terang, menurut pendapatku ilmu survival Rambo di hutan belantara perlu dipelajari orang Islam, sehingga jika suatu saat terjadi kondisi buruk seperti hadits Nabi itu dan memaksa harus lari menyendiri ke hutan, masih bisa survive dengan memakan mentah-mentah akar, jamur, daun, serangga, cacing, ulat dan lain-lain.
“Benar, kira-kira seperti ashabul kahfi, walaupun mengungsinya tidak ke hutan tapi ke dalam gua, dan tertidur didalamnya selama ratusan tahun” katanya.
“Nah, menyendiri seperti itulah yang dibolehkan. Tetapi jika didalam suatu negeri ada jamaah Islam, kemudian memisahkan diri, itulah yang dilarang oleh Allah”
Diambilnya Al-Quranku, dibukakannya surat Ali Imron, dan dibacakannya.
“Wa’tashimuu bi hablillaahi jamii’an walaa tafarroquu. Berpegang-teguhlah dengan agama Allah dengan berjama’ah dan janganlah berpecah-belah. Itulah perintah Allah yang tertulis didalam Al-Quran” katanya. Ya, aku cukup mengenal ayat ini. Termasuk ayat yang sering dibaca di musabaqoh atau qiro’at menjelang acara-acara resmi ritual Islam.
“Man faroqol jamaa’ata qiida syibrin faqod khola’a ribgotal islaama min ‘unuqihi. Barangsiapa yang memisahi jamaah satu jengkal saja maka sungguh telah melepas tali islam dari lehernya. Demikian sabda Nabi di sebuah hadits. Dan melepas tali Islam artinya dari Islam kembali kepada kekafiran. Artinya dari sorga kembali ke neraka, bukan?”.
Memisahi jamaah 1 jengkal? Sangat kualitatif, kataku dalam hati. Bagaimana cara mengukur ‘memisahi jamaah 1 jengkal’?
Apakah tidak ikut sholat berjamaah 1 kali di masjid dianggap ‘memisahi jamaah 1 jengkal’. Jika itu yang dimaksud, alangkah celakanya aku yang solatnya hampir selalu munfarid di rumah apalagi di kantor. Apakah tidak hadir di majelis ta’lim 1 kali dianggap ‘memisahi jamaah 1 jengkal’? Jika itu yang dimaksud, alangkah celakanya aku yang sering tidak bisa hadir di acara-acara majelis ta’lim karena kesibukan urusan duniawi. Keningku yang berkerut tanpa sadar tanda berpikir rupanya terbaca oleh Syeikh Fulan.
“Ana faham, anda pasti bingung dengan apa yang dimaksud ‘memisahi jamaah 1 jengkal’ didalam hadits Nabi itu”.
“Saya paham, Syeikh Fulan” kataku menyela. Tiba-tiba saja aku menemukan kalimat kesimpulan yang jauh lebih sederhana dan lebih mudah dimengerti:
“Alangkah dekatnya neraka! Jaraknya hanya 1 jengkal dari sorga! Begitu maksud Syeikh, bukan?” kataku sambil memegang tangannya mengharapkan persetujuan atas kesimpulan yang aku ambil.
“Benar. Alangkah dekatnya sorga. Jaraknya hanya 1 jengkal dari neraka” katanya sambil menyilangkan tangan kanannya dan merentangkan sejauh-jauhnya ibu jari dengan kelingkingnya.
Tiba-tiba saja rasa haru menyerbu, menyesakkan nafasku, dan memaksa meneteskan air mataku. Rasa haru memperoleh pembenaran atas kesimpulan sederhana yang kuambil. Rasa haru memperoleh pelurusan pembalikan kalimat dari ‘neraka jaraknya hanya 1 jengkal dari sorga’ menjadi ‘sorga jaraknya hanya 1 jengkal dari neraka’.
“Ya akhilkariim, ketika anda menyatakan ‘alangkah dekatnya neraka, jaraknya hanya 1 jengkal dari sorga’ itu artinya begitu mudahnya orang baik apalagi orang jahat masuk kedalam neraka”
“Tetapi ketika anda menyatakan ‘alangkah dekatnya sorga, jaraknya hanya 1 jengkal dari neraka’ itu artinya begitu mudahnya orang jahat apalagi orang baik masuk kedalam sorga.”
Aku bersujud dan menangis. Tiba-tiba saja aku merasa seolah-olah sudah berada di depan pintu sorga, dan tinggal melangkah memasukinya. Pundakku pelahan dielus. Syeikh mengulurkan sejemput tissue. Aku kembali duduk, memaksakan tersenyum, dan menghapus air mataku.
“Syukron , Ya Sheikh, dan maafkan saya menangis”
“Barokalloohu . Itu tangisan rahmat” katanya sambil tersenyum. Seandainya bukan setelah sholat shubuh di bulan suci Ramadhan, pikirku, mungkin ngobrol pagi-pagi seperti itu enaknya sambil minum kohi.
“Belasan tahun ana tinggal di negeri yang dirahmati oleh Allah. Indonesia, negeri anda sungguh-sungguh negeri 1 sejarak jengkal saja dari sorga. Ratusan ribu masjid tersebar di seluruh pelosok negeri. Tidak seperti di negeri kami, atau di negeri jiran seperti Malaysia, Brunei dan Singapore yang full dikontrol pemerintah, di negeri anda setiap orang bebas mendirikan mesjid pribadi sendiri. Mengadakan majelis ta’lim sendiri. Ribuan pesantren tersebar di seluruh negeri. Alumni pesantren tidak hanya menjadi guru agama, bahkan banyak yang menjadi teknokrat dan birokrat setingkat menteri selain Menteri Agama. Al-Quran terus menerus dicetak. Kitab-kitab Al-Hadits mudah diperoleh. Media cetak dan buku-buku yang mengupas masalah agama Islam terus menerus diterbitkan. Dakwah di media elektronik terutama di TV memiliki rating yang tinggi. Masya Allah!”
“Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin” kataku, tersanjung. Bayangkan, negeriku dipuji orang Arab. Di hadapan Kabah pula!
“Alhamdulillah. Itulah al-basyiiron kabar gembiranya”
What? Kabar gembira? Kalau ada good news pasti ada bad news nya, dong, kataku dalam hati. Aku berdebar menanti terusan kalimatnya.
“An-nadziiron kabar buruknya, sedemikian baiknya hati penduduknya, sehingga jarak negeri anda menjadi 1 jengkal juga dari neraka, jengkal pendek” katanya sambil menyilangkan tangan kanan tapi yang direntangkan adalah antara ibu jari dengan telunjuk, bukan dengan kelingking.
Aku, yang baru saja negeriku disanjung, sekarang serasa dihempaskan dengan keras keatas tanah. “Maksud Syeikh, negeri kami lebih dekat ke neraka daripada ke sorga?”.
“Alloohu a’lam, ya akhilkariim, begitulah keyakinan yang ana rasakan selama belasan tahun tinggal di negeri anda. Justru karena penduduk di negeri anda sedemikian baiknya, sedemikian ramahnya, sedemikian hormatnya kepada ana keturunan Arab, maka diperlukan kewaspadaan yang ekstra tinggi supaya ana tidak terjerumus kedalam neraka”
Black-out! Gelap-gulita! Aku tidak mengerti maksud pembicaraan dia. Langit subuh sudah semakin terang. Beberapa ulama yang memberikan kuliah subuh di beberapa titik didalam masjid sudah pada turun dari kursi-kursi tinggi yang kini kosong.
“Mari kita sholat duha dulu” katanya sambil menuju ke sumur zamzam untuk mengambil air wudlu.
“Silahkan, saya masih punya wudlu” kataku sambil langsung berdiri untuk sholat dhuha. Ah, Kekhusyuan sholatku menjadi terganggu gara-gara memikirkan apa yang dimaksud negeriku sejarak ‘satu jengkal panjang’ ke sorga tetapi sejarak ‘satu jengkal pendek’ ke neraka. Memikirkan keramahan bangsaku justru mendekatkan ke neraka. Ada-ada saja, kataku dalam hati.

No comments:

Post a Comment