Monday, September 5, 2011

1. Dimensi Sorga-Neraka

*** 1. Dimensi Sorga-Neraka ***
(9754)
MAKKAH. Masjidil Harom. Masa Sebelum Dibangun Mecca Tower. Itikaf Malam 21.
“Assalaamu ‘alaikum. Indonesia?”
“Wa’alaikum salam. Yes.” Jawabku refleks, sudah terbiasa ditanya seperti itu.
Kami berkenalan. Surprise, orang Arab itu lancar sekali berbahasa Indonesia!
“Bisa bahasa Indonesia?” tanyaku terheran-heran.
“Belasan tahun ana tinggal di negeri anda” katanya sambil tersenyum. “Negeri yang sangat indah. Banyak sekali pohon, tidak gersang seperti di sini. Banyak sekali gunung besar, tidak kecil-kecil seperti disini. Yang namanya gunung Uhud di Saudi, di Indonesia hanyalah sebuah bukit kecil.”
“Jadi mengapa meninggalkan Indonesia?”
Dia termenung sejenak, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Anda tahu, kan, bahwa sorga itu ukurannya besar sekali?”
Aku langsung bingung ditanya pendapatku tentang ukuran sorga. Tidak pernah seumur-umur sejak sekolah agama puluhan tahun yang lalu sampi sekarang ada yang memberitahu sebesar apa ukuran sorga. Jadi aku mengangguk saja.
“Sorga itu besar sekali. Bagi seorang ahli sorga, Allah A’zza wa Jalla memberikan istana dari berlian sepanjang 60 mil. Bukan istana yang dibuat dari potongan berlian seukuran batu-bata yang ditumpuk-tumpuk seperti piramida di Mesir atau candi di Indonesia, tapi dari berlian utuh yang diukir”.
Aku tidak membayangkan berlian yang bentuknya dari dulu seperti itu, tapi langsung teringat Swarovski pembuat kristal berbagai bentuk yang luar biasa indahnya. Lalu membayangkan istana ahli sorga yang dibuat dari berlian utuh tanpa sambungan, dengan panjang istana yang membentang sejarak 90 KM dari Jakarta sampai Bogor. Allohu akbar!
“Semua ahli sorga seperti Nabi Yusuf parasnya, seperti Nabi Muhammad lisannya, seperti Nabi Isa umurnya, dan seperti Nabi Adam 40 diro tinggi badannya. Jika seorang ahli sorga mendapatkan istana yang panjangnya 60 mil seperti itu, kepada ahli sorga yang sejak Nabi Adam sampai manusia terakhir menjelang kiamat tentunya jumlahnya jutaan, anda dapat mengerti mengapa sorga itu sangat besar sekali.”
“Apalagi sorga itu ada 100 tingkat, dari tingkat 1 yang amalnya paling rendah sampai tingkat 100 sorga Firdaus tempatnya pada Nabi dan Rosul, serta manusia biasa tetapi mereka para syuhada yang mati syahid ” katanya meneruskan. Aku menyimak dengan khusyu. Ini adalah hal-hal yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
“Anda tahu, bahwa neraka itu ukurannya juga besar sekali?”
Idem ketika tadi aku ditanya tentang dimensi sorga. Aku bingung ditanya pendapatku tentang ukuran neraka. Tidak pernah seumur-umur ada yang mengajarkan sebesar apa ukuran sorga. Jadi ya sudah, seperti ketika ditanya sorga, sekarangpun aku mengangguk saja.
“Sedemikian dalamnya dasar neraka, sehingga batu paling besar ukurannya di dunia ini, memerlukan waktu 80 tahun untuk mencapai dasarnya!”
Alloohu Akbar! Batu paling besar di dunia dijatuhkan ke neraka baru sampai 80 tahun kemudian? Alloohu Akbar! Aku histeris didalam hati. Lalu berapa ratus atau ribu tahun baru sampai ke dasar neraka jika yang dijatuhkan itu manusia biasa?
Orang Arab tadi kemudian menceritakan tentang sebuah hadits dimana di suatu malam seorang sohabat mendengar suara bergemuruh yang sangat mengerikan. Ketika dia bertanya, Nabi menjelaskan bahwa itu adalah suara batu besar yang dijatuhkan 80 tahun yang lalu, dan malam itu baru sampai ke dasarnya neraka.
Delapan puluh tahun dijatuhkan dan malam itu baru sampai di dasar neraka? Artinya ketika batu itu dijatuhkan, bahkan Nabi dan sohabat yang bertanyapun belum ada di dunia? Tiba-tiba saja keringat dingin terasa menerpa dahiku.
“Anda tahu sebesar apa ukuran manusia yang menjadi penghuni neraka?”
Demi Allah, dari entah berapa ratus atau mungkin ribu kali tausiyah yang aku hadiri sejak kecil, tidak pernah sekalipun ada ulama di Indonesia yang pernah menjelaskan dimensi manusia ahli neraka. Aku menggelengkan kepala dengan mantap.
“Ya Akhi , anda sudah ke Madinah?”
“Alhamdulillah, sebelum ke Makkah saya ziarah ke makam Nabi dulu dan itikaf malam 21 dan 22 di Masjid Nabawi Madinah.”
“Khoir , jadi anda tahu betapa jauhnya jarak Makkah-Madinah”
Aku mengangguk. Jauh sekali, 400 KM atau hampir setengah pulau Jawa!
“Ya akhi, anda tahu gunung Uhud?”
“Alhamdulillah, kemarin saya sudah sempat ziarah ke gunung Uhud.”
“Khoir, jadi anda tahu besarnya gunung Uhud.
Aku mengangguk. Di Indonesia sebelum pergi, aku sempat browsing internet.
“Ya akhi, anda tahu kapal Nabi Nuh?”
Aku mengangguk. “Ya, saya pernah lihat versi Nasrani di film Ten Commandment. Persis seperti perahu memuat kebun binatang yang berisi sepasang jantan-betina seluruh hewan yang ada di bumi. Saya juga pernah lihat foto dari penemuan arkeologi yang diduga bekas kapal Nabi Nuh. Lebih besar dari Kapal Titanic” kataku sambil tersenyum. Mencoba melucu.
“Khoir, jadi anda dapat membayangkan betapa besarnya perahu Nabi Nuh”.
Diam-diam aku merasa tidak enak didalam hati. Tadi aku bertanya kepada dia, setelah sekian tahun tinggal di Indonesia, mengapa kembali ke Saudi. Dia malah balik bertanya 3 soal sekaligus: tentang jarak Makkah-Madinah, tentang gunung Uhud, dan tentang perahu Nabi Nuh. Aku belum mengerti kemana arah pembicaraan orang Arab itu.
“Ya akhi, ketahuilah bahwa badan penghuni neraka itu besar sekali” katanya terbata.
“Gigi gerahamnya sebesar gunung Uhud. Kelopak matanya dapat dilayari perahu Nabi Nuh. Dan besar pantatnya antara Makkah dan Madinah”
Seakan diluar kendali, sepanjang orang Arab itu bercerita, berulang kali aku bergantian mengucapkan “Masya Allah” dan “Asraghfirullah”. Belum pernah sebelumnya aku menerima penjelasan tentang sorga dan neraka sedemikian deskriptifnya, sehingga disebutkan ukuran-ukurannya dalam angka. Namun sejauh itu aku masih belum menangkap juga arah dari pembicaraan Syeikh.
“Dari semua yang ana jelaskan, anda dapat membayangkan betapa luar biasa besarnya dimensi sorga. Bagaimana dengan neraka? Anda tahu besar mana sorga dengan neraka?”
Aku gelagapan tiba-tiba ditanya seperti itu. “Neraka?” jawabku pelan, tapi dengan intonasi bertanya. Karena mana aku tahu? Tidak pernah ada yang mengajarku masalah ini sebelumnya. Jawabanku spontan karena ingat bahwa yang masuk neraka jauh lebih banyak daripada yang masuk sorga. Jadi pasti kapasitasnya harus lebih besar.
“Dari 1000 orang manusia, hanya 1 yang masuk kedalam sorga, sedangkan yang 999 sisanya masuk kedalam neraka. Jadi jauh lebih banyak yang masuk kedalam neraka daripada yang masuk kedalam sorga. Tetapi apakah kemudian neraka akan menjadi jauh lebih besar daripada neraka? Alloohu a’lam, dan bukan itu kesimpulan yang akan ditarik dari pembicaraan ana.” Katanya.
Aku mengangguk. Memang terlalu naïf, dan untuk apa pula manfaatnya membandingkan besar mana antara sorga dan neraka, kecuali memang ada haditsnya.
“Ya Akhi, sorga dan neraka yang sedemikian besarnya, sesungguhnya jarak di antara keduanya sangat dekat. Hanya 1 jengkal saja!” katanya sambil menyilangkan tangan kanannya di depan mukanya dan merenggarkan sejauh-jauhnya ibu jari dengan kelingking.
Tenggorokanku mendadak kering. Aku menelan ludah. Ah, orang Arab ini kalau tidak sedang bercanda, pasti sedang membuat perumpamaan. Jika sorga-neraka adalah ibaratnya bumi-bulan, mana mungkin jarak diantara bumi-bulan hanya 1 jengkal saja?
“Kohi?” katanya, sambil menuangkan kopi Arab dari termosnya kedalam gelas, lalu menyodorkannya padaku.
“Syukron”, kataku sambil kuminum. Mudah-mudahan dia tidak tahu, bahwa aku menelan ludah tadi sama sekali bukan karena kehausan, tapi karena pernyataan dia tentang jarak 1 jengkal antara bumi dan langit, yang adalah amat sangat tidak masuk akal.
“Ya Akhi, sekarang ana baru bisa menjawab pertanyaan anda di awal tadi mengapa ana kembali pulang dari Indonesia ke Arab Saudi? Saya pulang karena jarak 1 jengkal itu , di Indonesia menjadi lebih pendek lagi” katanya sambil mendekatkan ibu jari dan kelingking sampai hampir merapat. “Seperti jengkal seorang bayi yang baru lahir” katanya menutup pembicaraan.
Tiba-tiba terjadi antiklimaks. Aku yang dari tadi menyimak dengan khusyuk, seketika berubah menjadi tidak jadi simpati dengan pembicaraannya. Ketika tadi menyebutkan bahwa di Indonesia jarak 1 jengkal antara sorga-neraka semakin memendek, rasa nasionalismeku muncul, tetapi emosi tetap aku kendalikan. Dan tidak terbersit sedikitpun untuk berargumentasi dengan dia.
“O ya? Tadinya saya kira Indonesia sebagai negara dengan populasi Islam terbesar dunia, justru adalah tempat yang sangat mudah untuk mencari sorga. Mesjid dimana-mana. Pesantren dimana-mana. Ulama dimana-mana. Tausiyah dimana-mana. Dakwah di media cetak dan elektronik dimana-mana. Tempat-tempat maksiat-judi-prostitusi kalaupun ada, tidak ada yang berani terbuka terang-terangan seperti di negara-negara non-Arab lainnya. Tadinya saya kira Indonesia adalah tempat terbaik di dunia untuk mengumpulkan bekal hari akhirat” kataku semangat demi membela nama baik bangsa dan negara. “Nyatanya jarak antara sorga dan nerakanya justru lebih pendek, seperti jari orok”.
“Ya Akhil Karim , ana tidak bermaksud merendahkan bangsa dan negara anda. Indonesia adalah negeri alam tropis yang indah sekali. Bangsanya ramah sekali. Jauh lebih ramah dan sopan daripada bangsa-bangsa Arab yang rata-rata wataknya keras karena kehidupan suasana gurun pasir di Arab memang menempa manusianya memiliki tabiat yang keras. Bangsa anda memiliki akhlaq mulia dan benar-benar sudah mengamalkan akhlaqul karimah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.”
“Benar, tetapi ternyata menurut Syeikh jaraknya sorga-nerakanya lebih pendek di Indonesia daripada di Arab, bukan?”
“Benar, dan Insya Allah itu yang akan ana jelaskan sejelas-jelasnya. Barokalloohu laka .”
Tiba-tiba microphone berbunyi. Waktunya qiyamul lail atau sholat malam jam 2 dinihari sudah tiba. Bunyi takbir jelas menunjukkan suara Syeikh Sudais, imam Masjidil Haram yang suaranya melengking tinggi. Alamat banjir air-mata saat membaca doa qunut di akhir rakaat nanti.
“Alhamdulillah. Mari shalat dulu. Nanti kita sambung lagi” katanya.
Aku berdiri. Sekarang satu shaf tepat di sebelah kanannya dia. Sholat malam 20 rakaat selama 2 jam diakhiri dengan doa qunut yang sangat panjang memanjatkan do’a kepada Allah SWT, membuat banjir tangis dan air mata dari para jamaah. Sungguh sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa.
Usai shalat, dengan mata sama-sama sembab karena menangis sepanjang doa qunut, kami berpisah untuk makan sahur. Aku ke “hotel” tepatnya pondokan di rumah penduduk, sedangkan dia tentu saja pulang ke rumahnya di Aziziah As-Auq. Katanya lumayan jauh dari Masjidil Haram, tetapi dia membawa mobil sendiri. Kami janjian akan ketemu lagi untuk shalat subuh berdekatan di titik yang sama, dan meneruskan pembicaraan.
“Jangan lupa bawa catatan” katanya saat kami berpisah.
“Boleh direkam?”
“Silahkan” katanya sambil angkat bahu. Sekejap kemudian dia tidak kelihatan, tenggelam didalam lautan manusia yang bergegas keluar masjid, berpacu dengan waktu sahur.
Sambil makan sahur, aku terkesiap. Aku lupa menanyakan nama dan nomor HP-nya. Bagaimana kalau dia tidak muncul di shalat subuh nanti? Kemana aku mencarinya? Aku segera membaca ta’awudz menghilangkan suudzon bersangka buruk. Insya Allah aku akan ketemu dia lagi.

No comments:

Post a Comment