Monday, September 5, 2011

3. Ingin Disebut Orang Pandai

*** 3. Ingin Disebut Orang Pandai ***
Matahari mulai tinggi. Selesai sholat dhuha kami pindah dari lantai 3 yang tanpa atap ke lantai 2.
Syeikh Fulan menceritakan riwayat sebuah hadits tentang jutaan manusia yang dibariskan di padang mahsyar untuk menghadap Allah Raja Hari Kiamat. Semua dalam keadaan telanjang bulat, dan matahari didekatkan, sehingga manusia tidak lebih dari barisan daging hidup yang menunduk dengan rasa ketakutan yang luar biasa.
“Ada seorang sohabat yang bertanya kepada Aisyah apakah sesama manusia nanti tidak malu sama-sama berkumpul dalam keadaan telanjang bulat?” kata Syeikh menirukan hadits. “Aisyah menjawab bahwa rasa takut dengan adzab Allah yang luar biasa tidak memungkinkan sempat memikirkan rasa malu.”
“Dari sekian banyak manusia, ternyata masih ada orang yang datang menghadap Allah dengan muka yang berseri-seri, sehingga Allah bertanya: Wahai Fulan, apa yang menyebabkan kamu datang kepada-Ku dengan wajah berseri-seri, sementara orang lain datang dengan rasa takut? Tanya Allah”
Aku mendengarkan Syeikh dengan khusyuk sambil diam-diam memeriksa MP3 player untuk memastikan dalam posisi merekam. Ini hadits yang seru. Ini bukan hadits qudsi, tetapi ada bagian percakapan Allah dengan hamba-Nya. Dan aku suka sekali.
“Ya Allah, hamba datang menghadap kepada Engkau dengan muka yang berseri-seri karena hamba adalah ahli ilmu dan mengajarkan ilmu hamba kepada banyak sekali manusia, dan itu semua hamba lakukan untuk mengharapkan pahala dari-Mu. Itulah yang membuat hamba datang menghadapmu dengan muka yang berseri-seri”
“Semua manusia mengetahui bahwa orang itu memang ahli ilmu yang mengajarkan ilmunya kesana-kemari. Bahkan malaikat mencatatnya sebagai ahli ilmu dan mati dalam keadaan sedang mengajarkan ilmunya”
“Tiba-tiba Allah berkata dengan murka: KADZDZABTA! Dusta kamu! Kamu mengajarkan ilmu kesana-kemari dan mati dalam keadaan sedang mengajarkan ilmumu kepada manusia bukan untuk mencari wajah-Ku, tapi karena kamu ingin dipuji sebagai ORANG PANDAI!” tutur Syeikh dengan suara meninggi.
“Wahai Malaikat, gusur orang yang mengaku-ngaku penyebar ilmu tetapi sebenarnya ingin disebut ORANG PANDAI ini ke neraka! Malaikat kemudian menggusur orang itu di kakinya, dengan kepala tergusur di tanah” kata Syeikh. “Na’uudzu billaahi min dzaalika” tutupnya.
Aku terkesiap dengan hadits yang baru saja dibacakan Syeikh. Alangkah akan banyaknya para ahli ilmu di yang akhirnya justru bisa masuk neraka, hanya karena didalam hatinya terbersit niat ingin disebut orang pandai, bukan karena niat ingin amal jariah mengajarkan ilmu yang bermanfaat. Aku merinding.
“Ya akhi dan kultur-budaya di negeri anda turut memperburuk keadaan ini”
“Maksud Syeikh?”
“Di negeri anda, orang sudah terbiasa secara berlebihan memuji dan menyanjung ahli ilmu secara langsung maupun tidak langsung di depannya. Tanpa pujian saja, syetan terus menerus menggoda ahli ilmu itu supaya ingin disebut orang pandai. Bayangkan pengaruh buruk kepada hati para ahli ilmu itu dengan pujian dan sanjungan yang mengatakan dia orang pandai”.
“Di negeri anda, tanpa perasaan bersalah orang memuji dan menyanjung orang pandai, padahal itu dosa. Sabda Nabi orang yang memuji sungguh telah memenggal orang yang dipuji. Pujian mematikan niat mukhlis lillaah karena Allah. Pujian merubah niat ahli ilmu dari yang awalnya ingin amal jariah untuk menjadikan ilmunya bermanfaat menjadi ingin disebut orang pandai”.
Jiwaku bergetar. Aku S1 lulusan sebuah institute teknologi di Indonesia dan S2 lulusan Amerika. Walaupun tidak memperoleh pendidikan formal dalam bisang agama, aku juga aktif di organisasi dakwah Islam. Dan sering diminta, bukan menawarkan diri, untuk memberikan tausiyah seadanya. Aku merinding. Jangan-jangan aku termasuk kedalam golongan yang sedang diceritakan Syeikh ini.
“Mulai saat ini robahlah paradigm mencari ilmu menjadi diberi ilmu. Ketika anda menyatakan mencari ilmu, percayalah, anda tidak akan pernah merasa yakin telah mendapatkannya. Bahkan justru tidak mendapatkannya seperti misalnya Nabi Musa ketika hendak belajar ilmu kepada Nabi Khaidir, Allah tidak memberi izin mendapatkannya.”
“Robahlah menjadi seperti paradigm Malaikat ketika berkata: tidak ada ilmu bagi kami kecuali yang telah Engkau berikan kepada kami . Kalimat aktif mencari ilmu perlu diganti menjadi kalimat pasif diberi ilmu.”
“Terus bagaimana untuk memperbaiki kultur-budaya memuji dan menyanjung di negeri kami?” tanyaku.
“Negara dan bangsa anda luar biasa ramah dan santun karena anda lahir dan besar di negeri dengan pepohonan hijau sepanjang tahun. Tidak mungkin dibandingkan dengan bangsa kami yang lahir dan besar di tanah gurun pasir yang panas sepanjang masa. Tetapi budaya memuji dan menyanjung di negeri anda perlu diperbaiki. Dan untuk itu diperlukan upaya dakwah yang terus menerus dan massif. Ana percaya, bangsa anda mampu memperbaikinya”.

2. Jarak Sorga Neraka

*** 2. Jarak Sorga-Neraka ***
(8876)
ALHAMDULILLAAH. Orang Arab itu sedang sholat sunnat tahiyyatul masjid ketika aku tiba di tempat yang dijanjikan tadi. Aku segera shalat di sebelahnya. Usai shalat sunnah sambil menunggu qomat, aku mengambil inisiatip memperkenalkan diri. Dia agak heran ketika namaku kusebut. Mungkin karena tidak berbau Islam. Dia memperkenalkan diri. Namanya Fulan bin Fulan . Tidak banyak yang bisa digali kecuali bahwa dia pernah tinggal belasan tahun di Indonesia. Kami bincang-bincang sampai waktu sholat tiba.
Usai shalat shubuh, kami harus bergeser cukup jauh mencari tempat kosong, karena di titik kami sholat tiba-tiba dipasang mimbar. Rupanya guru-guru mengaji petugas kerajaan disebar di sekitar masjidil harom duduk di mimbar untuk memberikan kuliah subuh dan tentunya disampaikan dalam bahasa Arab. Kuliah disampaikan dalam Bahasa Arab. Dan tanpa speaker sehingga kelompok-kelompok kuliah subuh tadi tidak saling mengganggu.
Dari kejauhan nampak sekelompok kecil jamaah umroh dari Malaysia mengadakan kuliah subuh sendiri. Rupanya daripada bengong mendengarkan ceramah bahasa Arab, mendingan mendengarkan ceramah dalam bahasa sendiri.
“Jadi mengapa syeikh pindah dari Indonesia?” kataku sambil menghidupkan MP3 Player untuk merekam pembicaraan.
“Ya akhilkariim, terlebih dahulu ketahuilah bahwa Islam adalah agama komunitas. Islam adalah agama berjamaah. Islam tidak mengenal kehidupan yang solitaire atau menyendiri. Didalam Islam, nikah adalah wajib. Didalam Islam khoirul rijaal aktsarun nisaa, sebaik-baiknya laki-laki yang banyak isterinya. Didalam Islam banyak anak adalah kehormatan”
“Di Islam di Indonesia, banyak anak banyak rezeki” kataku menyela. Orang Arab itu tersenyum.
“Di Islam di Indonesia, kawin mudah, poligami murah” kataku lagi. Orang Arab itu tergelak. Wah, bisa juga orang serius tertawa, kataku dalam hati.
“Ana tahu itu, ana tahu itu” katanya.
Mahalnya mahar serta mahalnya biaya pernikahan di Arab telah membuat banyak laki-laki Arab tidak mampu menikah. Dan ini menjadi masalah sosial yang serius.
“Satu-satunya pengecualian adalah ketika di suatu tempat tidak ada jamaah Islam dan mengalami kesulitan yang membahayakan aqidah dan jiwa ketika melaksanakan ibadah, maka menurut hadits Nabi lebih baik menyendiri di hutan, makan akar tumbuhan sampai ajal tiba.”
“Seperti ashabul kahfi?” kataku.
Sebetulnya aku mau berkata ‘Seperti Rambo masuk Islam menyendiri di hutan Vietnam?’, tapi aku tidak tega mengatakan itu. Kuatir dianggap mempermainkan. Kalau dia ngambek dan pergi, kan repot. Tapi terus terang, menurut pendapatku ilmu survival Rambo di hutan belantara perlu dipelajari orang Islam, sehingga jika suatu saat terjadi kondisi buruk seperti hadits Nabi itu dan memaksa harus lari menyendiri ke hutan, masih bisa survive dengan memakan mentah-mentah akar, jamur, daun, serangga, cacing, ulat dan lain-lain.
“Benar, kira-kira seperti ashabul kahfi, walaupun mengungsinya tidak ke hutan tapi ke dalam gua, dan tertidur didalamnya selama ratusan tahun” katanya.
“Nah, menyendiri seperti itulah yang dibolehkan. Tetapi jika didalam suatu negeri ada jamaah Islam, kemudian memisahkan diri, itulah yang dilarang oleh Allah”
Diambilnya Al-Quranku, dibukakannya surat Ali Imron, dan dibacakannya.
“Wa’tashimuu bi hablillaahi jamii’an walaa tafarroquu. Berpegang-teguhlah dengan agama Allah dengan berjama’ah dan janganlah berpecah-belah. Itulah perintah Allah yang tertulis didalam Al-Quran” katanya. Ya, aku cukup mengenal ayat ini. Termasuk ayat yang sering dibaca di musabaqoh atau qiro’at menjelang acara-acara resmi ritual Islam.
“Man faroqol jamaa’ata qiida syibrin faqod khola’a ribgotal islaama min ‘unuqihi. Barangsiapa yang memisahi jamaah satu jengkal saja maka sungguh telah melepas tali islam dari lehernya. Demikian sabda Nabi di sebuah hadits. Dan melepas tali Islam artinya dari Islam kembali kepada kekafiran. Artinya dari sorga kembali ke neraka, bukan?”.
Memisahi jamaah 1 jengkal? Sangat kualitatif, kataku dalam hati. Bagaimana cara mengukur ‘memisahi jamaah 1 jengkal’?
Apakah tidak ikut sholat berjamaah 1 kali di masjid dianggap ‘memisahi jamaah 1 jengkal’. Jika itu yang dimaksud, alangkah celakanya aku yang solatnya hampir selalu munfarid di rumah apalagi di kantor. Apakah tidak hadir di majelis ta’lim 1 kali dianggap ‘memisahi jamaah 1 jengkal’? Jika itu yang dimaksud, alangkah celakanya aku yang sering tidak bisa hadir di acara-acara majelis ta’lim karena kesibukan urusan duniawi. Keningku yang berkerut tanpa sadar tanda berpikir rupanya terbaca oleh Syeikh Fulan.
“Ana faham, anda pasti bingung dengan apa yang dimaksud ‘memisahi jamaah 1 jengkal’ didalam hadits Nabi itu”.
“Saya paham, Syeikh Fulan” kataku menyela. Tiba-tiba saja aku menemukan kalimat kesimpulan yang jauh lebih sederhana dan lebih mudah dimengerti:
“Alangkah dekatnya neraka! Jaraknya hanya 1 jengkal dari sorga! Begitu maksud Syeikh, bukan?” kataku sambil memegang tangannya mengharapkan persetujuan atas kesimpulan yang aku ambil.
“Benar. Alangkah dekatnya sorga. Jaraknya hanya 1 jengkal dari neraka” katanya sambil menyilangkan tangan kanannya dan merentangkan sejauh-jauhnya ibu jari dengan kelingkingnya.
Tiba-tiba saja rasa haru menyerbu, menyesakkan nafasku, dan memaksa meneteskan air mataku. Rasa haru memperoleh pembenaran atas kesimpulan sederhana yang kuambil. Rasa haru memperoleh pelurusan pembalikan kalimat dari ‘neraka jaraknya hanya 1 jengkal dari sorga’ menjadi ‘sorga jaraknya hanya 1 jengkal dari neraka’.
“Ya akhilkariim, ketika anda menyatakan ‘alangkah dekatnya neraka, jaraknya hanya 1 jengkal dari sorga’ itu artinya begitu mudahnya orang baik apalagi orang jahat masuk kedalam neraka”
“Tetapi ketika anda menyatakan ‘alangkah dekatnya sorga, jaraknya hanya 1 jengkal dari neraka’ itu artinya begitu mudahnya orang jahat apalagi orang baik masuk kedalam sorga.”
Aku bersujud dan menangis. Tiba-tiba saja aku merasa seolah-olah sudah berada di depan pintu sorga, dan tinggal melangkah memasukinya. Pundakku pelahan dielus. Syeikh mengulurkan sejemput tissue. Aku kembali duduk, memaksakan tersenyum, dan menghapus air mataku.
“Syukron , Ya Sheikh, dan maafkan saya menangis”
“Barokalloohu . Itu tangisan rahmat” katanya sambil tersenyum. Seandainya bukan setelah sholat shubuh di bulan suci Ramadhan, pikirku, mungkin ngobrol pagi-pagi seperti itu enaknya sambil minum kohi.
“Belasan tahun ana tinggal di negeri yang dirahmati oleh Allah. Indonesia, negeri anda sungguh-sungguh negeri 1 sejarak jengkal saja dari sorga. Ratusan ribu masjid tersebar di seluruh pelosok negeri. Tidak seperti di negeri kami, atau di negeri jiran seperti Malaysia, Brunei dan Singapore yang full dikontrol pemerintah, di negeri anda setiap orang bebas mendirikan mesjid pribadi sendiri. Mengadakan majelis ta’lim sendiri. Ribuan pesantren tersebar di seluruh negeri. Alumni pesantren tidak hanya menjadi guru agama, bahkan banyak yang menjadi teknokrat dan birokrat setingkat menteri selain Menteri Agama. Al-Quran terus menerus dicetak. Kitab-kitab Al-Hadits mudah diperoleh. Media cetak dan buku-buku yang mengupas masalah agama Islam terus menerus diterbitkan. Dakwah di media elektronik terutama di TV memiliki rating yang tinggi. Masya Allah!”
“Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin” kataku, tersanjung. Bayangkan, negeriku dipuji orang Arab. Di hadapan Kabah pula!
“Alhamdulillah. Itulah al-basyiiron kabar gembiranya”
What? Kabar gembira? Kalau ada good news pasti ada bad news nya, dong, kataku dalam hati. Aku berdebar menanti terusan kalimatnya.
“An-nadziiron kabar buruknya, sedemikian baiknya hati penduduknya, sehingga jarak negeri anda menjadi 1 jengkal juga dari neraka, jengkal pendek” katanya sambil menyilangkan tangan kanan tapi yang direntangkan adalah antara ibu jari dengan telunjuk, bukan dengan kelingking.
Aku, yang baru saja negeriku disanjung, sekarang serasa dihempaskan dengan keras keatas tanah. “Maksud Syeikh, negeri kami lebih dekat ke neraka daripada ke sorga?”.
“Alloohu a’lam, ya akhilkariim, begitulah keyakinan yang ana rasakan selama belasan tahun tinggal di negeri anda. Justru karena penduduk di negeri anda sedemikian baiknya, sedemikian ramahnya, sedemikian hormatnya kepada ana keturunan Arab, maka diperlukan kewaspadaan yang ekstra tinggi supaya ana tidak terjerumus kedalam neraka”
Black-out! Gelap-gulita! Aku tidak mengerti maksud pembicaraan dia. Langit subuh sudah semakin terang. Beberapa ulama yang memberikan kuliah subuh di beberapa titik didalam masjid sudah pada turun dari kursi-kursi tinggi yang kini kosong.
“Mari kita sholat duha dulu” katanya sambil menuju ke sumur zamzam untuk mengambil air wudlu.
“Silahkan, saya masih punya wudlu” kataku sambil langsung berdiri untuk sholat dhuha. Ah, Kekhusyuan sholatku menjadi terganggu gara-gara memikirkan apa yang dimaksud negeriku sejarak ‘satu jengkal panjang’ ke sorga tetapi sejarak ‘satu jengkal pendek’ ke neraka. Memikirkan keramahan bangsaku justru mendekatkan ke neraka. Ada-ada saja, kataku dalam hati.

1. Dimensi Sorga-Neraka

*** 1. Dimensi Sorga-Neraka ***
(9754)
MAKKAH. Masjidil Harom. Masa Sebelum Dibangun Mecca Tower. Itikaf Malam 21.
“Assalaamu ‘alaikum. Indonesia?”
“Wa’alaikum salam. Yes.” Jawabku refleks, sudah terbiasa ditanya seperti itu.
Kami berkenalan. Surprise, orang Arab itu lancar sekali berbahasa Indonesia!
“Bisa bahasa Indonesia?” tanyaku terheran-heran.
“Belasan tahun ana tinggal di negeri anda” katanya sambil tersenyum. “Negeri yang sangat indah. Banyak sekali pohon, tidak gersang seperti di sini. Banyak sekali gunung besar, tidak kecil-kecil seperti disini. Yang namanya gunung Uhud di Saudi, di Indonesia hanyalah sebuah bukit kecil.”
“Jadi mengapa meninggalkan Indonesia?”
Dia termenung sejenak, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Anda tahu, kan, bahwa sorga itu ukurannya besar sekali?”
Aku langsung bingung ditanya pendapatku tentang ukuran sorga. Tidak pernah seumur-umur sejak sekolah agama puluhan tahun yang lalu sampi sekarang ada yang memberitahu sebesar apa ukuran sorga. Jadi aku mengangguk saja.
“Sorga itu besar sekali. Bagi seorang ahli sorga, Allah A’zza wa Jalla memberikan istana dari berlian sepanjang 60 mil. Bukan istana yang dibuat dari potongan berlian seukuran batu-bata yang ditumpuk-tumpuk seperti piramida di Mesir atau candi di Indonesia, tapi dari berlian utuh yang diukir”.
Aku tidak membayangkan berlian yang bentuknya dari dulu seperti itu, tapi langsung teringat Swarovski pembuat kristal berbagai bentuk yang luar biasa indahnya. Lalu membayangkan istana ahli sorga yang dibuat dari berlian utuh tanpa sambungan, dengan panjang istana yang membentang sejarak 90 KM dari Jakarta sampai Bogor. Allohu akbar!
“Semua ahli sorga seperti Nabi Yusuf parasnya, seperti Nabi Muhammad lisannya, seperti Nabi Isa umurnya, dan seperti Nabi Adam 40 diro tinggi badannya. Jika seorang ahli sorga mendapatkan istana yang panjangnya 60 mil seperti itu, kepada ahli sorga yang sejak Nabi Adam sampai manusia terakhir menjelang kiamat tentunya jumlahnya jutaan, anda dapat mengerti mengapa sorga itu sangat besar sekali.”
“Apalagi sorga itu ada 100 tingkat, dari tingkat 1 yang amalnya paling rendah sampai tingkat 100 sorga Firdaus tempatnya pada Nabi dan Rosul, serta manusia biasa tetapi mereka para syuhada yang mati syahid ” katanya meneruskan. Aku menyimak dengan khusyu. Ini adalah hal-hal yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
“Anda tahu, bahwa neraka itu ukurannya juga besar sekali?”
Idem ketika tadi aku ditanya tentang dimensi sorga. Aku bingung ditanya pendapatku tentang ukuran neraka. Tidak pernah seumur-umur ada yang mengajarkan sebesar apa ukuran sorga. Jadi ya sudah, seperti ketika ditanya sorga, sekarangpun aku mengangguk saja.
“Sedemikian dalamnya dasar neraka, sehingga batu paling besar ukurannya di dunia ini, memerlukan waktu 80 tahun untuk mencapai dasarnya!”
Alloohu Akbar! Batu paling besar di dunia dijatuhkan ke neraka baru sampai 80 tahun kemudian? Alloohu Akbar! Aku histeris didalam hati. Lalu berapa ratus atau ribu tahun baru sampai ke dasar neraka jika yang dijatuhkan itu manusia biasa?
Orang Arab tadi kemudian menceritakan tentang sebuah hadits dimana di suatu malam seorang sohabat mendengar suara bergemuruh yang sangat mengerikan. Ketika dia bertanya, Nabi menjelaskan bahwa itu adalah suara batu besar yang dijatuhkan 80 tahun yang lalu, dan malam itu baru sampai ke dasarnya neraka.
Delapan puluh tahun dijatuhkan dan malam itu baru sampai di dasar neraka? Artinya ketika batu itu dijatuhkan, bahkan Nabi dan sohabat yang bertanyapun belum ada di dunia? Tiba-tiba saja keringat dingin terasa menerpa dahiku.
“Anda tahu sebesar apa ukuran manusia yang menjadi penghuni neraka?”
Demi Allah, dari entah berapa ratus atau mungkin ribu kali tausiyah yang aku hadiri sejak kecil, tidak pernah sekalipun ada ulama di Indonesia yang pernah menjelaskan dimensi manusia ahli neraka. Aku menggelengkan kepala dengan mantap.
“Ya Akhi , anda sudah ke Madinah?”
“Alhamdulillah, sebelum ke Makkah saya ziarah ke makam Nabi dulu dan itikaf malam 21 dan 22 di Masjid Nabawi Madinah.”
“Khoir , jadi anda tahu betapa jauhnya jarak Makkah-Madinah”
Aku mengangguk. Jauh sekali, 400 KM atau hampir setengah pulau Jawa!
“Ya akhi, anda tahu gunung Uhud?”
“Alhamdulillah, kemarin saya sudah sempat ziarah ke gunung Uhud.”
“Khoir, jadi anda tahu besarnya gunung Uhud.
Aku mengangguk. Di Indonesia sebelum pergi, aku sempat browsing internet.
“Ya akhi, anda tahu kapal Nabi Nuh?”
Aku mengangguk. “Ya, saya pernah lihat versi Nasrani di film Ten Commandment. Persis seperti perahu memuat kebun binatang yang berisi sepasang jantan-betina seluruh hewan yang ada di bumi. Saya juga pernah lihat foto dari penemuan arkeologi yang diduga bekas kapal Nabi Nuh. Lebih besar dari Kapal Titanic” kataku sambil tersenyum. Mencoba melucu.
“Khoir, jadi anda dapat membayangkan betapa besarnya perahu Nabi Nuh”.
Diam-diam aku merasa tidak enak didalam hati. Tadi aku bertanya kepada dia, setelah sekian tahun tinggal di Indonesia, mengapa kembali ke Saudi. Dia malah balik bertanya 3 soal sekaligus: tentang jarak Makkah-Madinah, tentang gunung Uhud, dan tentang perahu Nabi Nuh. Aku belum mengerti kemana arah pembicaraan orang Arab itu.
“Ya akhi, ketahuilah bahwa badan penghuni neraka itu besar sekali” katanya terbata.
“Gigi gerahamnya sebesar gunung Uhud. Kelopak matanya dapat dilayari perahu Nabi Nuh. Dan besar pantatnya antara Makkah dan Madinah”
Seakan diluar kendali, sepanjang orang Arab itu bercerita, berulang kali aku bergantian mengucapkan “Masya Allah” dan “Asraghfirullah”. Belum pernah sebelumnya aku menerima penjelasan tentang sorga dan neraka sedemikian deskriptifnya, sehingga disebutkan ukuran-ukurannya dalam angka. Namun sejauh itu aku masih belum menangkap juga arah dari pembicaraan Syeikh.
“Dari semua yang ana jelaskan, anda dapat membayangkan betapa luar biasa besarnya dimensi sorga. Bagaimana dengan neraka? Anda tahu besar mana sorga dengan neraka?”
Aku gelagapan tiba-tiba ditanya seperti itu. “Neraka?” jawabku pelan, tapi dengan intonasi bertanya. Karena mana aku tahu? Tidak pernah ada yang mengajarku masalah ini sebelumnya. Jawabanku spontan karena ingat bahwa yang masuk neraka jauh lebih banyak daripada yang masuk sorga. Jadi pasti kapasitasnya harus lebih besar.
“Dari 1000 orang manusia, hanya 1 yang masuk kedalam sorga, sedangkan yang 999 sisanya masuk kedalam neraka. Jadi jauh lebih banyak yang masuk kedalam neraka daripada yang masuk kedalam sorga. Tetapi apakah kemudian neraka akan menjadi jauh lebih besar daripada neraka? Alloohu a’lam, dan bukan itu kesimpulan yang akan ditarik dari pembicaraan ana.” Katanya.
Aku mengangguk. Memang terlalu naïf, dan untuk apa pula manfaatnya membandingkan besar mana antara sorga dan neraka, kecuali memang ada haditsnya.
“Ya Akhi, sorga dan neraka yang sedemikian besarnya, sesungguhnya jarak di antara keduanya sangat dekat. Hanya 1 jengkal saja!” katanya sambil menyilangkan tangan kanannya di depan mukanya dan merenggarkan sejauh-jauhnya ibu jari dengan kelingking.
Tenggorokanku mendadak kering. Aku menelan ludah. Ah, orang Arab ini kalau tidak sedang bercanda, pasti sedang membuat perumpamaan. Jika sorga-neraka adalah ibaratnya bumi-bulan, mana mungkin jarak diantara bumi-bulan hanya 1 jengkal saja?
“Kohi?” katanya, sambil menuangkan kopi Arab dari termosnya kedalam gelas, lalu menyodorkannya padaku.
“Syukron”, kataku sambil kuminum. Mudah-mudahan dia tidak tahu, bahwa aku menelan ludah tadi sama sekali bukan karena kehausan, tapi karena pernyataan dia tentang jarak 1 jengkal antara bumi dan langit, yang adalah amat sangat tidak masuk akal.
“Ya Akhi, sekarang ana baru bisa menjawab pertanyaan anda di awal tadi mengapa ana kembali pulang dari Indonesia ke Arab Saudi? Saya pulang karena jarak 1 jengkal itu , di Indonesia menjadi lebih pendek lagi” katanya sambil mendekatkan ibu jari dan kelingking sampai hampir merapat. “Seperti jengkal seorang bayi yang baru lahir” katanya menutup pembicaraan.
Tiba-tiba terjadi antiklimaks. Aku yang dari tadi menyimak dengan khusyuk, seketika berubah menjadi tidak jadi simpati dengan pembicaraannya. Ketika tadi menyebutkan bahwa di Indonesia jarak 1 jengkal antara sorga-neraka semakin memendek, rasa nasionalismeku muncul, tetapi emosi tetap aku kendalikan. Dan tidak terbersit sedikitpun untuk berargumentasi dengan dia.
“O ya? Tadinya saya kira Indonesia sebagai negara dengan populasi Islam terbesar dunia, justru adalah tempat yang sangat mudah untuk mencari sorga. Mesjid dimana-mana. Pesantren dimana-mana. Ulama dimana-mana. Tausiyah dimana-mana. Dakwah di media cetak dan elektronik dimana-mana. Tempat-tempat maksiat-judi-prostitusi kalaupun ada, tidak ada yang berani terbuka terang-terangan seperti di negara-negara non-Arab lainnya. Tadinya saya kira Indonesia adalah tempat terbaik di dunia untuk mengumpulkan bekal hari akhirat” kataku semangat demi membela nama baik bangsa dan negara. “Nyatanya jarak antara sorga dan nerakanya justru lebih pendek, seperti jari orok”.
“Ya Akhil Karim , ana tidak bermaksud merendahkan bangsa dan negara anda. Indonesia adalah negeri alam tropis yang indah sekali. Bangsanya ramah sekali. Jauh lebih ramah dan sopan daripada bangsa-bangsa Arab yang rata-rata wataknya keras karena kehidupan suasana gurun pasir di Arab memang menempa manusianya memiliki tabiat yang keras. Bangsa anda memiliki akhlaq mulia dan benar-benar sudah mengamalkan akhlaqul karimah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.”
“Benar, tetapi ternyata menurut Syeikh jaraknya sorga-nerakanya lebih pendek di Indonesia daripada di Arab, bukan?”
“Benar, dan Insya Allah itu yang akan ana jelaskan sejelas-jelasnya. Barokalloohu laka .”
Tiba-tiba microphone berbunyi. Waktunya qiyamul lail atau sholat malam jam 2 dinihari sudah tiba. Bunyi takbir jelas menunjukkan suara Syeikh Sudais, imam Masjidil Haram yang suaranya melengking tinggi. Alamat banjir air-mata saat membaca doa qunut di akhir rakaat nanti.
“Alhamdulillah. Mari shalat dulu. Nanti kita sambung lagi” katanya.
Aku berdiri. Sekarang satu shaf tepat di sebelah kanannya dia. Sholat malam 20 rakaat selama 2 jam diakhiri dengan doa qunut yang sangat panjang memanjatkan do’a kepada Allah SWT, membuat banjir tangis dan air mata dari para jamaah. Sungguh sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa.
Usai shalat, dengan mata sama-sama sembab karena menangis sepanjang doa qunut, kami berpisah untuk makan sahur. Aku ke “hotel” tepatnya pondokan di rumah penduduk, sedangkan dia tentu saja pulang ke rumahnya di Aziziah As-Auq. Katanya lumayan jauh dari Masjidil Haram, tetapi dia membawa mobil sendiri. Kami janjian akan ketemu lagi untuk shalat subuh berdekatan di titik yang sama, dan meneruskan pembicaraan.
“Jangan lupa bawa catatan” katanya saat kami berpisah.
“Boleh direkam?”
“Silahkan” katanya sambil angkat bahu. Sekejap kemudian dia tidak kelihatan, tenggelam didalam lautan manusia yang bergegas keluar masjid, berpacu dengan waktu sahur.
Sambil makan sahur, aku terkesiap. Aku lupa menanyakan nama dan nomor HP-nya. Bagaimana kalau dia tidak muncul di shalat subuh nanti? Kemana aku mencarinya? Aku segera membaca ta’awudz menghilangkan suudzon bersangka buruk. Insya Allah aku akan ketemu dia lagi.

Prolog

masih kosong